Suatu siang pas lagi istirahat, teman kantor saya mendadak berubah. Dari yang biasa makannya santai sambil nonton YouTube dan ketawa-ketiwi, tiba-tiba dia cuma duduk di meja kerja menatap nanar semangkuk oatmeal dingin rasa harapan. Setelah saya tanya, ternyata dia hanya sarapan dengan segelas air lemon. Makan siang pakai oatmeal. Makan malam rencananya akan diskip dan langsung tidur meskipun perut bunyi-bunyi. “Lagi diet,” tambahnya. Dengan wajah serius, seolah dia baru ikut wajib militer kaya oppa-oppa Korea (selatan ya, bukan utara).
Saya yang dengar cuma bisa bengong sambil mengunyah gorengan. Bukan karena merasa bersalah, tapi prihatin. Soalnya bukan cuma berat badannya yang mungkin turun, tapi juga semangat hidupnya.
Nah, di sinilah akar masalahnya. Banyak orang gagal paham. Mereka menganggap diet itu artinya kurang makan atau kelaparan. Padahal, esensi dari diet bukanlah mengurangi makan sebanyak-banyaknya, melainkan mengatur pola makan dengan cara yang tepat—inilah inti dari cara diet yang benar.

Diet Itu Bukan Ritual Penyiksaan Diri
Selama ini kata “diet” sering dipahami secara terbatas: pokoknya makan lebih sedikit. Kalau bisa, tidak usah makan sekalian. Makin lapar, makin sukses. Makin lemas, makin berhasil. Padahal, kalau dilihat dari asal katanya, diet itu artinya pengaturan pola makan.
Ya, pengaturan. Bukan pengurangan.
Kalau kamu atlet, ya dietmu bakal beda dengan ibu menyusui. Kalau kamu lagi sakit, dietmu disesuaikan supaya cepat pulih. Kalau kamu mau sehat aja, ya cukup tahu kapan makan, apa yang dimakan, dan seberapa banyak.
Masalahnya, kita seringkali lebih percaya pada testimoni random TikTok daripada logika tubuh sendiri. Kita hidup di zaman di mana diet direduksi menjadi slogan-slogan instan seperti “tips langsing dalam seminggu.” Terima kasih kepada iklan-iklan teh detoks dan influencer yang menjual harapan lewat foto before–after.
Salah Kaprah yang Merajalela
Coba kamu scroll bentar di YouTube, Instagram, atau TikTok. Kamu bakal lihat orang diet cuma minum air seharian, puasa terus-terusan, makan daun doang tiga kali sehari. Ada juga yang anti-nasi total gara-gara ngerasa buncit akibat makan nasi. Padahal yang bikin buncit itu bukan nasinya, tapi combo nasi + ayam goreng + es teh manis + rebahan tiga jam. Orang-orang lupa kalau makanan bukan musuh. Yang salah bukan lauknya, tapi kebiasaannya.
Bayangkan, seseorang sarapan roti tawar, siangnya skip makan, sorenya minum teh manis pakai gula tiga sendok makan, malamnya ngemil keripik kentang sampe kenyang karena “nggak tahan.” Trus besoknya ngeluh: “Kok berat badan ngga turun-turun ya?”
Diet bukan soal jumlah makan yang masuk, tapi soal pola makan secara keseluruhan. Bukan tentang tidak makan malam, tapi tentang tahu kapan makan itu cukup. Ini bagian penting dari cara diet yang benar, namun sering diabaikan.
Ilmiah Itu Tidak Harus Ribet
Di dunia gizi dan kesehatan (bukan dunia medsos), diet itu selalu disesuaikan dengan:
- Kebutuhan energi, kita tentukan berdasarkan umur, aktivitas, dan kondisi tubuh
- Keseimbangan zat gizi makro, seperti karbohidrat, lemak, dan protein
- Tujuan dari diet itu sendiri. Misalnya menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, atau bahkan menaikan massa otot
Kalau tubuhmu butuh 1800 kkal, ya idealnya asupan kamu segitu. Bukan cuma 800 kkal lalu berharap langsing tanpa efek samping. Justru kalau kamu kurang makan, tubuh kamu bakal menyesuaikan diri dengan memperlambat metabolisme. Kamu jadi gampang lemas, mood swing, dan dalam jangka panjang, berat badan bisa balik naik lebih parah karena tubuh balas dendam. Efek yoyo, istilahnya. Nah, cara diet yang benar justru harus mempertimbangkan kebutuhan energi tubuhmu secara realistis.
Diet Sehat: Realistis dan Konsisten
Diet sehat itu bukan program 7 hari penuh penderitaan, tapi membentuk kebiasaan yang bisa kamu jaga selama 70 tahun. Makan sayur itu perlu. Minum air putih juga penting. Tapi kamu juga berhak ngemil, jajan bakso, atau makan seblak, selama kamu tahu batasannya.
Diet sehat tidak anti-gorengan. Tidak anti-nasi. Tidak anti-jajan. Tapi tahu porsi, tahu frekuensi, dan tahu kapan cukup.
Percaya deh, kamu masih bisa makan ayam goreng dan tetap sehat—asal nggak gorengannya doang tiap hari. Seimbangkan dengan sayur, air putih, dan tetap aktif bergerak.
Penutup: Jangan Musuhi Makanan
Hidup itu udah banyak masalah. Jangan tambah-tambahin masalah dengan musuhin makanan. Kita bisa kok menjalani diet tanpa membenci apa yang ada di piring kita. Kita bisa sehat tanpa harus menyiksa diri.
Kamu nggak perlu musuhin nasi atau merasa dosa karena jajan cilok. Yang penting: tahu kapan berhenti dan kapan mulai. Kadang, yang kamu butuh bukan detox makanan, tapi detox pikiran dari ekspektasi yang nggak manusiawi.
Karena sejatinya, diet bukan tentang menyiksa tubuh, tapi tentang membangun hubungan yang sehat dengannya. Bukan menjauh dari makanan, tapi mendekat pada kesadaran. Itulah sebabnya cara diet yang benar tidak pernah nyuruh kamu membenci makanan.
Jadi, yuk berdamai dengan isi piring kamu. Karena diet yang sehat adalah yang bikin kamu tetap waras, tetap makan enak, dan tetap hidup tanpa kehilangan akal sehat. Oh iya satu lagi, kalau diet kamu bikin kamu pengin lempar piring tiap hari, mungkin yang perlu dikurangi bukan makanannya… tapi dramanya.