dietpedia

Informasi Diet dan Gaya Hidup Sehat

Diet Nggak Harus Sengsara: Ini Cara Kerja Defisit Kalori

Kenapa Diet Sering Terasa Menyiksa?

Dunia diet sering kali dibungkus rasa bersalah dan aturan-aturan aneh yang katanya harus begini, harus begitu. Nah sekarang coba kita mengheningkan cipta sejenak dan berpikir. Siapa bilang diet itu harus menderita? Siapa juga yang menyebarkan hoaks bahwa makan enak adalah dosa dalam dunia penurunan berat badan?

Mari kita bahas satu rahasia besar yang sudah lama diketahui oleh para peneliti, profesor, dan praktisi dunia kesehatan. Satu konsep ilmiah yang simpel tapi powerful, yang entah kenapa jarang dijelaskan dengan jujur: defisit kalori.

Simpel. Tapi seperti banyak hal di dunia ini, simpel bukan berarti gampang.

Kalori Masuk vs Kalori Keluar: Perhitungan Kuno yang Masih Ampuh

Tubuh kita pada dasarnya bukan makhluk misterius yang berubah berat badan hanya karena sesekali makan malam lewat jam 8. Semua berawal dan berakhir pada satu hal: keseimbangan energi. Kalau kamu makan lebih banyak dari yang kamu bakar, ya berat naik. Sebaliknya, kalau kamu makan lebih sedikit dari kebutuhan harianmu, maka sisanya akan diambil dari simpanan energi dalam tubuh — kebanyakan dalam bentuk lemak. Itulah yang disebut defisit kalori.

Ilustrasi timbangan energi dengan kalori masuk berupa makanan dan kalori keluar berupa aktivitas fisik
Menjaga keseimbangan antara kalori masuk dan kalori keluar adalah kunci dari defisit kalori

Nah, banyak orang sebenarnya tahu soal ini, tapi ngotot menyalahkan nasi, gorengan, atau bahkan makanan-makanan yang mengandung gluten. Padahal, masalah utamanya bukan pada makanannya, tapi pada porsinya. Satu porsi nasi uduk bisa aja aman, tapi kalau kamu nambah tiga kali karena “nanggung kalau gak sekalian”, ya jangan salahin nasi.

Studi Ekstrem: Makan Junk Food Tapi Berat Badan Turun?

Masih gak percaya? Oke, saya kasih contoh ekstrem yang pernah ramai di dunia gizi. Seorang profesor dari Kansas State University melakukan eksperimen makan makanan olahan tinggi gula dan lemak — seperti snack manis dan soda diet — selama 10 minggu. Hasilnya? Berat badan turun lebih dari 10 kilo. Ajaib? Tidak juga. Itu cuma sains dasar metabolisme manusia.

Kenapa? Karena dia tetap menjaga total asupan kalorinya lebih rendah dari kebutuhan tubuhnya.

Apakah ini sehat? Tentu tidak dalam jangka panjang. Tapi eksperimen ini menunjukkan satu hal penting: tubuh menurunkan berat badan karena jumlah kalori, bukan karena makanan dianggap “bersih” atau “kotor”. Mau kamu makan nasi goreng atau sayur rebus, selama total kalorinya tetap defisit, tubuh akan membakar simpanan energinya.

Jadi, bukan makanannya yang membuatmu gemuk. Tapi pola dan porsinya.

AMB dan Teman-Temannya: Dasar Matematika Diet

Sekarang mari kita bicara angka, tapi jangan takut. Ini bukan ujian UTBK.

Tubuh kita membakar kalori bahkan saat kita sedang rebahan sambil nonton drama korea. Aktivitas ini disebut Angka Metabolisme Basal (AMB) — kebutuhan energi dasar agar tubuh tetap hidup: jantung berdetak, paru-paru bekerja, ginjal nyaringin air putih.

Setelah tahu AMB, kita tambah aktivitas harian seperti jalan kaki, mikirin utang, atau olahraga. Hasil akhirnya adalah kebutuhan kalori total per hari.

Nah, defisit kalori idealnya dibuat dari kebutuhan total ini, bukan dari AMB. Kenapa? Karena AMB itu angka minimum tubuh bisa bertahan hidup. Kalau kamu makan di bawah itu, tubuh bisa panik dan mulai mengorbankan otot, menurunkan metabolisme, bahkan memperlambat fungsi sistem imun. Akhirnya bukan kurus sehat, tapi kurus lusuh.

Boleh Makan Martabak, Asal Tahu Batas

Salah satu mitos diet yang paling ngeselin adalah: “Kalau mau kurus, jangan makan enak.”

Padahal kenyataannya, kamu bisa tetap makan martabak, bakso, bahkan es krim. Tapi kamu harus tahu kapasitas kalorimu, atau di dunia gizi biasa disebut kebutuhan energi. Ibarat kamu punya gaji 2 juta per minggu, ya jangan belanja 3 juta terus ngeluh bokek. Kalori juga begitu. Ibarat kebutuhan kalori kamu 2000 kkal tapi kamu makan sampe 2500 kkal, ya jangan ngeluh badan jadi gemuk.

Yang sering jadi masalah adalah makan tanpa sadar: ngemil dikit-dikit tapi sering, minum kopi susu boba yang kalorinya lebih tinggi dari nasi padang, atau makan sisa camilan anak karena “sayang kalau dibuang”. Akumulasi ini yang sering menjebak.

Faktanya, dalam salah satu meta-analisis tentang program diet populer, ditemukan bahwa hampir semua diet — entah itu rendah karbohidrat atau rendah lemak — bisa menghasilkan penurunan berat badan yang signifikan. Nggak ada satu jenis diet yang benar-benar lebih unggul dari yang lain. Artinya? Diet terbaik itu bukan yang paling hits di Instagram, tapi yang bisa kamu jalani dengan konsisten tanpa membuat kamu menghela nafas tiap kali jam makan tiba.

Dengan paham defisit kalori, kamu belajar manajemen keuangan kalori. Dan sama seperti uang, pengelolaan yang baik bikin kamu tetap bisa menikmati hidup — tanpa bangkrut.

Apa yang Terjadi Kalau Cuma Fokus Kalori, Tapi Gizi Nol?

Nah, ini bagian penting yang suka dilewatkan para pemuja angka timbangan: keseimbangan zat gizi tetap penting.

Kamu memang bisa aja nurunin berat badan dengan konsumsi 1.500 kkal per hari yang isinya donat dan soda diet. Secara angka, itu tetap defisit. Tapi coba bayangin realitanya: makanan tinggi gula dan lemak seperti itu biasanya nggak bikin kenyang lama.

Jadi meski kalorinya pas, rasa laparnya bakal menggila. Profesor Haub sendiri — si penemu eksperimen “junk-food diet” — harus punya tekad sekuat baja buat tahan 10 minggu hidup dari snack manis dan soda. Bayangin tiap hari makan tapi tetap merasa kelaparan. Bukan cuma soal angka, tapi siksaan mental juga. Dan kalau pola makan kayak gitu diterusin, jangka pendeknya kamu bisa jadi cranky dan lemas, sementara jangka panjangnya… ya siap-siap kehilangan massa otot, gangguan hormon, sampai metabolisme yang lambatnya ngalahin antrean layanan publik.

Makanya, walau defisit kalori jadi prinsip utama, kualitas makanan tetap harus dijaga. Usahakan ada protein (biar otot aman), lemak sehat (buat hormon tetap stabil), dan serat (biar gak sembelit sambil diet). Percayalah, usus yang bahagia adalah kunci mood yang stabil.

Penutup: Diet Itu Bukan Rutinitas Sadis, Tapi Proses Realistis

Seorang pria melihat sticky note bertuliskan “Realistis, bukan sadis” yang tertempel di pintu kulkas
Diet sehat adalah melakukan pilihan realistis, bukan menjalankan rutinitas sadis

Diet itu bukan soal jadi orang paling disiplin sedunia atau makan paling bersih sejagat. Itu soal ngerti cara kerja tubuh, ngatur porsi, dan bertahan dalam konsistensi. Kalau kamu bisa makan makanan yang kamu suka dan tetap defisit kalori — kamu sudah menang satu langkah lebih jauh daripada mereka yang diet ekstrem tapi cuma bertahan seminggu.

Tapi ya itu tadi, jangan ngoyo sampai di bawah kebutuhan dasar. Jangan juga diet asal-asalan cuma karena pengin cepet kurus. Tubuhmu bukan proyek kilat, apalagi proyek mangkrak.

Jadi, yuk kita akur sama tubuh. Kasih dia makanan yang enak, cukup, dan bergizi. Karena kalau kamu nyiksa dia, jangan kaget kalau nanti dia balas dendam… bukan dengan surat somasi, tapi dengan rasa lapar yang brutal dan metabolisme yang mogok total.

Referensi:

Fell, J. S. (2010, December 6). A Twinkie diet? It comes down to calories. Los Angeles Times. https://www.latimes.com/archives/la-xpm-2010-dec-06-la-he-fitness-twinkie-diet-20101206-story.html

Henry, C. J. K. (2005). Basal metabolic rate studies in humans: Measurement and development of new equations. Public Health Nutrition, 8(7A), 1133–1152. https://doi.org/10.1079/PHN2005801

Johnston, B. C., Kanters, S., Bandayrel, K., et al. (2014). Comparison of weight loss among named diet programs in overweight and obese adults: A meta-analysis. JAMA, 312(9), 923–933. https://doi.org/10.1001/jama.2014.10397

Leidy, H. J., Carnell, N. S., Mattes, R. D., & Campbell, W. W. (2007). Higher protein intake preserves lean mass and satiety with weight loss in pre-obese and obese women. Obesity (Silver Spring), 15(2), 421–429. https://doi.org/10.1038/oby.2007.531

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *